Mediaintelijen.id
Bekasi,30/09/2025
Desa Sukaringin, di balik hijaunya sawah yang membentang, menyimpan sebuah kisah getir. Di sana, berdiri sebuah gubuk reot yang sudah tiga tahun menjadi saksi bisu perjuangan empat hati kecil. Mereka adalah Eko menjadi kepala punggung, sang sulung yang memanggul tanggung jawab ayahnya yang telah tiada, bersama tiga adiknya: Wati (10 tahun), Bima (7 tahun), dan si bungsu, Rina (5 tahun).
Tiga tahun lalu, sepasang penyakit merenggut kedua orang tua mereka dalam waktu berdekatan. Sejak saat itu, waktu seolah berhenti bagi Eko dan adik-adiknya. Mereka hanya mewarisi gubuk tua yang jauh dari kata layak. Dindingnya terbuat dari bilik bambu yang lapuk, atapnya penuh lubang menganga yang tak sanggup lagi menahan tetesan hujan.
Bertahan dalam Keterbatasan
Eko adalah kepala rumah tangga di usianya yang masih sangat muda. Setiap subuh, ia harus meninggalkan seragam sekolahnya—yang sudah terlalu sempit—demi mencari upah serabutan. Kadang ia memanggul hasil panen tetangga, kadang menjadi buruh tani harian. Upahnya tak seberapa, namun harus cukup untuk mengisi perut empat orang dan sesekali membeli minyak tanah.
Malam hari adalah saat paling menyakitkan. Ketika hujan turun, bunyi gemuruh air yang jatuh memecah kesunyian gubuk. Bukan di lantai, melainkan tepat di atas kasur usang mereka Menyelimuti dan hari ini kampung penganson Dusun II desa sukaringin kec sukawangi kab Bekasi Jawa barat, "Tukasnya
( Saka Adi Wijaya )




Social Header